Selasa, 21 Juni 2016

PROMOSI KESEHATAN DAN PEMELIHARAAN

PROMOSI KESEHATAN DAN PEMELIHARAAN

A.     Pengertian dan Lingkup Promosi Kesehatan
Dewasa ini promosi kesehatan (health promotion) telah menjadi bidang yang semakin penting dari tahun ke tahun. Dalam tiga dekade terakhir, telah terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal perhatian dunia mengenai masalah promosi kesehatan. Pada 21 November 1986, World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Konferensi Internasional Pertama bidang Promosi Kesehatan yang diadakan di Ottawa, Kanada. Konferensi ini dihadiri oleh para ahli kesehatan seluruh dunia, dan menghasilkan sebuah dokumen penting yang disebut Ottawa Charter (Piagam Ottawa). Piagam ini menjadi rujukan bagi program promosi kesehatan di tiap negara, termasuk Indonesia.
Dalam Piagam Ottawa disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang-orang untuk mengontrol dan meningkatkan kesehatan mereka (Health promotion is the process of enabling people to increase control over, and to improve, their health, WHO, 1986). Jadi, tujuan akhir promosi kesehatan adalah kesadaran di dalam diri orang-orang tentang pentingnya kesehatan bagi mereka sehingga mereka sendirilah yang akan melakukan usaha-usaha untuk menyehatkan diri mereka.
Lebih lanjut dokumen itu menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, individu atau kelompok harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasi-aspirasinya untuk memenuhi kebutuhannya dan agar mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya). Kesehatan adalah sebuah konsep positif yang menitikberatkan sumber daya pada pribadi dan masyarakat sebagaimana halnya pada kapasitas fisik. Untuk itu, promosi kesehatan tidak hanya merupakan tanggung jawab dari sektor kesehatan, akan tetapi jauh melampaui gaya hidup secara sehat untuk kesejahteraan (WHO, 1986).
Penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan berbagai strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka, melainkan lewat kerjasama dan koordinasi segenap unsur dalam masyarakat. Hal ini didasari pemikiran bahwa promosi kesehatan adalah suatu filosofi umum yang menitikberatkan pada gagasan bahwa kesehatan yang baik merupakan usaha individu sekaligus kolektif (Taylor, 2003).
Bagi individu, promosi kesehatan terkait dengan pengembangan program kebiasaan kesehatan yang baik sejak muda hingga dewasa dan lanjut usia (Taylor, 2003). Secara kolektif, berbagai sektor, unsur, dan profesi dalam masyarakat seperti praktisi medis, psikolog, media massa, para pembuat kebijakan publik dan perumus perundang-undangan dapat dilibatkan dalam program promosi kesehatan. Praktisi medis dapat mengajarkan kepada masyarakat mengenai gaya hidup yang sehat dan membantu mereka memantau atau menangani risiko masalah kesehatan tertentu. Para psikolog berperan dalam promosi kesehatan lewat pengembangan bentuk-bentuk intervensi untuk membantu masyarakat memraktikkan perilaku yang sehat dan mengubah kebiasaan yang buruk. Media massa dapat memberikan kontribusinya dengan menginformasikan kepada masyarakat perilaku-perilaku tertentu yang berisiko terhadap kesehatan seperti merokok dan mengonsumsi alkohol. Para pembuat kebijakan melakukan pendekatan secara umum lewat penyediaan informasi-informasi yang diperlukan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan gaya hidup sehat, serta penyediaan sarana-sarana dan fasilitas yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan buruk masyarakat. Berikutnya, perumus perundang-undangan dapat menerapkan aturan-aturan tertentu untuk menurunkan risiko kecelakaan seperti misalnya aturan penggunaan sabuk pengaman di kendaraan (Taylor, 2003).
Promosi kesehatan mencakup baik kegiatan promosi (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif), maupun rehabilitasi. Dalam hal ini, orang-orang yang sehat maupun mereka yang terkena penyakit, semuanya merupakan sasaran kegiatan promosi kesehatan. Kemudian, promosi kesehatan dapat dilakukan di berbagai ruang kehidupan, dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, tempat-tempat umum, dan tentu saja kantor-kantor pelayanan kesehatan.
Dari paparan di atas, tampaklah bahwa lingkup promosi kesehatan bukan semata-mata pendidikan, penyuluhan, atau serangkaian kampanye mengenai masalah kesehatan. Menurut Kapalawi, pendidikan atau penyuluhan kesehatan memang memiliki sasaran yang sama, yaitu perubahan perilaku individu atau kelompok untuk peningkatan derajat kesehatan. Namun sebenarnya keduanya hanya merupakan bagian kecil dari promosi kesehatan. Promosi kesehatan bersifat lebih luas atau lebih makro lagi dan lebih menyentuh sisi advokasi pada level pembuat kebijakan di mana promosi kesehatan berusaha melakukan perubahan pada lingkungan dengan harapan terjadinya perubahan perilaku yang lebih baik (Kapalawi, 2007). Menurut Green dan Ottoson (dalam Iqi, 2008), promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan, dan peraturan perundangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan.
Oleh karena itu, lingkup promosi kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut (Iqi, 2008):
1.      Pendidikan kesehatan (health education) yang penekanannya pada perubahan/perbaikan perilaku melalui peningkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan.
2.      Pemasaran sosial (social marketing), yang penekanannya pada pengenalan produk/jasa melalui kampanye.
3.      Upaya penyuluhan (upaya komunikasi dan informasi) yang tekanannya pada penyebaran informasi.
4.      Upaya peningkatan (promotif) yang penekanannya pada upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
5.      Upaya advokasi di bidang kesehatan, yaitu upaya untuk memengaruhi lingkungan atau pihak lain agar mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (melalui upaya legislasi atau pembuatan peraturan, dukungan suasana, dan lain-lain di berbagai bidang/sektor, sesuai keadaan).
6.      Pengorganisasian masyarakat (community organization), pengembangan masyarakat (community development), penggerakan masyarakat (social mobilization), pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dll.

B.     Kegiatan Promosi Kesehatan
Kesehatan memerlukan prasyarat-prasyarat yang terdiri dari berbagai sumber daya dan kondisi dasar, meliputi perdamaian (peace), perlindungan (shelter), pendidikan (education), makanan (food), pendapatan (income), ekosistem yang stabil (a stable eco-system), sumber daya yang berkesinambungan (a sustainable resources), serta kesetaraan dan keadilan sosial (social justice and equity) (WHO, 1986). Upaya-upaya peningkatan promosi kesehatan harus memerhatikan semua prasyarat tersebut.
WHO, lewat Konferensi Internasional Pertama tentang Promosi Kesehatan di Ottawa pada tahun 1986, telah merumuskan sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap negara untuk menyelenggarakan promosi kesehatan. Berikut akan disediakan terjemahan dari Piagam Ottawa pada bagian yang diberi subjudul Health Promotion Action Means. Menurut Piagam Ottawa, kegiatan-kegiatan promosi kesehatan berarti:
1.      Membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy public policy)
Promosi kesehatan lebih daripada sekadar perawatan kesehatan. Promosi kesehatan menempatkan kesehatan pada agenda dari pembuat kebijakan di semua sektor pada semua level, mengarahkan mereka supaya sadar akan konsekuensi kesehatan dari keputusan mereka dan agar mereka menerima tanggung jawab mereka atas kesehatan.  
Kebijakan promosi kesehatan mengombinasikan pendekatan yang berbeda namun dapat saling mengisi termasuk legislasi, perhitungan fiskal, perpajakan, dan perubahan organisasi. Ini adalah kegiatan yang terkoordinasi yang membawa kepada kesehatan, pendapatan, dan kebijakan sosial yang menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Kegiatan terpadu memberikan kontribusi untuk memastikan barang dan jasa yang lebih aman dan lebih sehat, pelayanan jasa publik yang lebih sehat dan lebih bersih, dan lingkungan yang lebih menyenangkan.
Kebijakan promosi kesehatan memerlukan identifikasi hambatan untuk diadopsi pada kebijakan publik di luar sektor kesehatan, serta cara menghilangkannya. Hal ini dimaksudkan agar dapat membuat pilihan yang lebih sehat dan lebih mudah untuk pembuat keputusan.
2.      Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive environments)

Masyarakat kita kompleks dan saling berhubungan. Kesehatan tidak dapat dipisahkan dari tujuan-tujuan lain. Kaitan yang tak terpisahkan antara manusia dan lingkungannya menjadikan basis untuk sebuah pendekatan sosio-ekologis bagi kesehatan. Prinsip panduan keseluruhan bagi dunia, bangsa, kawasan, dan komunitas yang serupa, adalah kebutuhan untuk memberi semangat pemeliharaan yang timbal-balik —untuk memelihara satu sama lain, komunitas, dan lingkungan alam kita. Konservasi sumber daya alam di seluruh dunia harus ditekankan sebagai tanggung jawab global.
Perubahan pola hidup, pekerjaan, dan waktu luang memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan. Pekerjaan dan waktu luang harus menjadi sumber kesehatan untuk manusia. Cara masyarakat mengatur kerja harus dapat membantu menciptakan masyarakat yang sehat. Promosi kesehatan menciptakan kondisi hidup dan kondisi kerja yang aman, yang menstimulasi, memuaskan, dan menyenangkan.
Penjajakan sistematis dampak kesehatan dari lingkungan yang berubah pesat.—terutama di daerah teknologi, daerah kerja, produksi energi dan urbanisasi–- sangat esensial dan harus diikuti dengan kegiatan untuk memastikan keuntungan yang positif bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan alam dan lingkungan yang dibangun serta konservasi dari sumber daya alam harus ditujukan untuk promosi kesehatan apa saja.
3.      Memerkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community actions)

Promosi kesehatan bekerja melalui kegiatan komunitas yang konkret dan efisien dalam mengatur prioritas, membuat keputusan, merencanakan strategi dan melaksanakannya untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Inti dari proses ini adalah memberdayakan komunitas –-kepemilikan mereka dan kontrol akan usaha dan nasib mereka.
Pengembangan komunitas menekankan pengadaan sumber daya manusia dan material dalam komunitas untuk mengembangkan kemandirian dan dukungan sosial, dan untuk mengembangkan sistem yang fleksibel untuk memerkuat partisipasi publik dalam masalah kesehatan. Hal ini memerlukan akses yang penuh serta terus menerus akan informasi, memelajari kesempatan untuk kesehatan, sebagaimana penggalangan dukungan.

4.      Mengembangkan keterampilan individu (develop personal skills)

Promosi kesehatan mendukung pengembangan personal dan sosial melalui penyediaan informasi, pendidikan kesehatan, dan pengembangan keterampilan hidup. Dengan demikian, hal ini meningkatkan pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk melatih dalam mengontrol kesehatan dan lingkungan mereka, dan untuk membuat pilihan yang kondusif bagi kesehatan.
Memungkinkan masyarakat untuk belajar melalui kehidupan dalam menyiapkan diri mereka untuk semua tingkatannya dan untuk menangani penyakit dan kecelakaan sangatlah penting. Hal ini harus difasilitasi dalam sekolah, rumah, tempat kerja, dan semua lingkungan komunitas.
5.      Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)
Tanggung jawab untuk promosi kesehatan pada pelayanan kesehatan dibagi di antara individu, kelompok komunitas, profesional kesehatan, institusi pelayanan kesehatan, dan pemerintah.
Mereka harus bekerja sama melalui suatu sistem perawatan kesehatan yang berkontribusi untuk pencapaian kesehatan. Peran sektor kesehatan harus bergerak meningkat pada arah promosi kesehatan, di samping tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan klinis dan pengobatan. Pelayanan kesehatan harus memegang mandat yang meluas yang merupakan hal sensitif dan ia juga harus menghormati kebutuhan kultural. Mandat ini harus mendukung kebutuhan individu dan komunitas untuk kehidupan yang lebih sehat, dan membuka saluran antara sektor kesehatan dan komponen sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan fisik yang lebih luas.
Reorientasi pelayanan kesehatan juga memerlukan perhatian yang kuat untuk penelitian kesehatan sebagaimana perubahan pada pelatihan dan pendidikan profesional. Hal ini harus membawa kepada perubahan sikap dan pengorganisasian pelayanan kesehatan dengan memfokuskan ulang kepada kebutuhan total dari individu sebagai manusia seutuhnya.
6.      Bergerak ke masa depan (moving into the future)

Kesehatan diciptakan dan dijalani oleh manusia di antara pengaturan dari kehidupan mereka sehari-hari di mana mereka belajar, bekerja, bermain, dan mencintai. Kesehatan diciptakan dengan memelihara satu sama lain dengan kemampuan untuk membuat keputusan dan membuat kontrol terhadap kondisi kehidupan seseorang, dan dengan memastikan bahwa masyarakat yag didiami seseorang menciptakan kondisi yang memungkinkan pencapaian kesehatan oleh semua anggotanya.
Merawat, kebersamaan, dan ekologi adalah isu-isu yang penting dalam mengembangkan strategi untuk promosi kesehatan. Untuk itu, semua yang terlibat harus menjadikan setiap fase perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan promosi kesehatan serta kesetaraan antara pria dan wanita sebagai acuan utama.
Dari enam hal di atas, setidaknya dapat disimpulkan dua kata kunci kegiatan promosi kesehatan, yakni advokasi (advocacy) dan pemberdayaan (empowerment).
a.       Advokasi
Advokasi terhadap kesehatan merupakan sebuah upaya yang dilakukan orang-orang di bidang kesehatan, utamanya promosi kesehatan, sebagai bentuk pengawalan terhadap kesehatan. Advokasi ini lebih menyentuh pada level pembuat kebijakan, bagaimana orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan bisa memengaruhi para pembuat kebijakan untuk lebih tahu dan memerhatikan kesehatan. Advokasi dapat dilakukan dengan memengaruhi para pembuat kebijakan untuk membuat peraturan-peraturan yang bisa berpihak pada kesehatan dan peraturan tersebut dapat menciptakan lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku sehat dapat terwujud di masyarakat (Kapalawi, 2007). Advokasi bergerak secara top-down (dari atas ke bawah). Melalui advokasi, promosi kesehatan masuk ke wilayah politik.

b.      Pemberdayaan
Di samping advokasi kesehatan, strategi lain dari promosi kesehatan adalah pemberdayaan masyarakat di dalam kegiatan-kegiatan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan lebih kepada untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan. Jadi sifatnya bottom-up (dari bawah ke atas). Partisipasi masyarakat adalah kegiatan pelibatan masyarakat dalam suatu program. Diharapkan dengan tingginya partisipasi dari masyarakat maka suatu program kesehatan dapat lebih tepat sasaran dan memiliki daya ungkit yang lebih besar bagi perubahan perilaku karena dapat menimbulkan suatu nilai di dalam masyarakat bahwa kegiatan-kegiatan kesehatan tersebut itu dari kita dan untuk kita (Kapalawi, 2007).
Dengan pemberdayaan masyarakat, diharapkan masyarakat dapat berperan aktif atau berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Sebagai unsur dasar dalam pemberdayaan, partisipasi masyarakat harus ditumbuhkan. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan pada dasarnya tidak berbeda dengan pemberdayaan masyarakat dalam bidang-bidang lainnya. Partisipasi dapat terwujud dengan syarat (Tawi, 2008):
1)     Adanya saling percaya antaranggota masyarakat
2)     Adanya ajakan dan kesempatan untuk berperan aktif
3)     Adanya manfaat yang dapat dan segera dapat dirasakan oleh masyarakat
4)     Adanya contoh dan keteladanan dari tokoh/pemimpin masyarakat.
Partisipasi itu harus didukung oleh adanya kesadaran dan pemahaman tentang bidang yang diberdayakan, disertai kemauan dari kelompok sasaran yang akan menempuh proses pemberdayaan. Dengan begitu, kegiatan promosi kesehatan akan berlangsung dengan sukses.
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/promosi kesehatan, diakses tanggal 25 September 2008
Iqi, Iqbal, 2008, Promosi Kesehatan, dalam http://iqbal-iqi.blogspot.com, diakses tanggal 15 Oktober 2008.
Kapalawi, Irwandi, 2007, Tantangan Bidang Promosi Kesehatan Dewasa Ini, dalam Irwandykapalawi.wordpress.com, diakses tanggal 25 September 2008.
Tawi, Mirzal, 2008, Pemberdayaan Masyarakat dalam Promosi Kesehatan, diambil dari http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/pemberdayaan-masyarakat-dalam-promkes, diakses tanggal 15 Oktober 2008
Taylor, Shelley E., 2003, Health Psychology, 5th edition, New York: McGraw Hill.
WHO, 1986, The Ottawa Charter for Health Promotion, Geneva: WHO, dari http://www.who.int/health promotion/conferences/previous/ottawa/en/, diakses tanggal 25 September 2008.
WHO, 1998, Health Promotion Glossary, Geneva: WHO.

PENCEGAHAN DN PEMELIHARAAN
Epidemiologi merupakan ilmu dasar pencegahan dengan sasaran utama adalah mencegah dan menanggulangi penyakit dalam masyarakat. Secara umum, pencegahan yaitu mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian. Tujuan utama pencegahan penyakit adalah menghalangi perkembangan penyakit dan kesakitan sebelum sempat berlanjut kea rah yang lebih parah. Konsep pencegahan meluas, mencakup langkah-langkah untuk mengganggu atau memperlambat penyakit atau kelainan.

A.      Pengertian Pencegahan
Pencegahan adalah mengambil suatu tindakan yang diambil terlebih dahulu sebelum kejadian, dengan didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologi (Nasry, 2006). Pencegahan merupakan komponen yang paling penting dari berbagai aspek kebijakan publik (sebagai contoh pencegahan kejahatan, pencegahan penyalahgunaan anak, keselamatan berkendara), banyak juga yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung untuk kesehatan. Konsep pencegahan adalah suatu bentuk upaya sosial untuk promosi, melindungi, dan mempertahankan kesehatan pada suatu populasi tertentu (National Public Health Partnership,  2006).

B.       Tingkat pencegahan
Salah satu kegunaan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit adalah untuk dipakai dalam merumuskan dan melakukan upaya pencegahan. Artinya, dengan mengetahui perjalanan penyakit dari waktu ke waktu serta perubahan yang terjadi di setiap masa/fase tersebut, dapat dipikirkan upaya-upaya pencegahan apa yang sesuai dan dapat dilakukan sehingga penyakit itu dapat dihambat perkembangannya sehingga tidak menjadi lebih berat, bahkan dapat disembuhkan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan akan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit itu dari waktu ke waktu, sehingga upaya pencegahan itu di bagi atas berbagai tingkat sesuai dengan perjalanan penyakit.
Dalam epidemiologi dikenal ada empat tingkat utama pencegahan penyakit, yaitu :
1.      Pencegahan tingkat awal (Priemodial Prevention)
2.      Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
3.      Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
4.      Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat awal dan pertama berhubungan dengan keadaan penyakit yang masih dalam tahap prepatogenesis, sedangkan pencegahan tingkat kedua dan ketiga sudah berada dalam keadaan pathogenesis atau penyakit sudah tampak. Bentuk-bentuk upaya pencegahan yang dilakukan pada setiap tingkat itu meliputi 5 bentuk upaya pencegahan sebagai berikut :
1.      Pencegahan tingkat awal (primodial prevention)
v  Pemantapan status kesehatan (underlying condition)
2.       Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
v  Promosi kesehatan (health promotion)
v  Pencegahan khusus
3.      Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
v  Diagnosis awal dan pengobatan tepat (early diagnosis and prompt treatment)
v  Pembatasan kecacatan (disability limitation)
4.      Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
v  Rehabilitasi (rehabilitation)

Tingkat pencegahan dan kelompok targetnya menurut fase penyakit
Tingkat pencegahan
Fase penyakit
Kelompok target
Primordial
Kondisi normal kesehatan
Populasi total dan kelompok terpilih
Primary
Keterpaparan factor penyebab khusus
Populasi total dan kelompok terpilih dan individu sehat
Secondary
Fase patogenesitas awal
Pasien
Tertiary
Fase lanjut (pengobatan dan rehabilitasi)
Pasien
Sumber : Beoglehole, WHO 1993

Hubungan kedudukan riwayat perjalanan penyakit, tingkat pencegahan dan upaya pencegahan:
Riwayat penyakit
Tingkat pencegahan
Upaya pencegahan
Pre-patogenesis
Primordial prevention
Primary prevention
Underlying condition
Health promotion
Specific protection
Pathogenesis
Secondary prevention


Tertiary prevention
Early diagnosis and prompt treatment
Disability limitation
Rehabilitation
Sumber : Beoglehole, WHO 1993

Salah satu teori public health yang berkaitan dengan pencegahan timbulnya penyakit dikenal dengan istilah 5 Level Of Prevention Against Diseases. Leavel dan Clark dalam bukunya Preventive Medicine For The Doctor In His Community mengemukakan adanya tiga tingkatan dalam proses pencegahan terhadap timbulnya suatu penyakit. Kedua tingkatan utama tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
1)      Fase sebelum sakit
Fase pre-pathogenesis dengan tingkat pencegahan yang disebut pencegahan primer (primary prevention). Fase ini ditandai dengan adanya keseimbangan antara agent (kuman penyakit/ penyebab), host (pejamu) dan environtment (lingkungan).
2)      Fase selama proses sakit
Fase pathogenesis, terbagi dalam 2 tingkatan pencegahan yang disebut pencegahan sekunder (secondary prevention) dan pencegahan tersier (tertiary prevention).  Fase ini dimulai dari pertama kali seorang terkena sakit yang pada akhirnya memiliki kemungkinan sembuh atau mati. 
Pada dasarnya ada 4 tingkat pencegahan penyakit secara umum, yakni pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap terjadinya cacat dan terakhir adalah rehabilitasi. Keempat tingkat pencegahan tersebut saling berhubungan erat sehingga dalam pelaksanaannya sering dijumpai keadaan yang tumpang tindih.
1.      Pencegahan tingkat Dasar (Primordial Prevention)
Pencegahan tingkat dasar merupakan usaha mencegah terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum.
Tujuan primordial prevention ini adalah untuk menghindari terbentuknya pola hidup social-ekonomi dan cultural yang mendorong peningkatan risiko penyakit . upaya ini terutama sesuai untuk ditujukan kepada masalah penyakit tidak menular yang  dewasa ini cenderung menunjukan peningkatannya.
Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau pola hidup yang sudah ada dalam masyarakat yang dapat mencegah meningkatnya risiko terhadap penyakit dengan melestarikan pola atau kebiasaan hidup sehat yang dapat mencegah atau mengurangi tingkat risiko terhadap penyakit tertentu atau terhadap berbagai penyakit secara umum. Contohnya seperti memelihara cara makan, kebiasaan berolahraga, dan kebiasaan lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat risiko yang rendah terhadap berbagai penyakit tidak menular.
Selain itu pencegahan tingkat dasar ini dapat dilakukan dengan usaha mencegah timbulnya kebiasaan baru dalam masyarakat atau mencegah generasi yang sedang tumbuh untuk tidak melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan risiko terhadap berbagai penyakit seperti kebiasaan merokok, minum alkhohol dan sebagainya. Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama kelompok masyarakat usia muda dan remaja dengan tidak mengabaikan orang dewasa dan kelompok manula. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pencegahan awal ini diarahkan kepada mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang bersifat positif yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau factor risiko dapat berkembang atau memberikan efek patologis. Factor-faktor itu tampaknya banyak bersifat social atau berhubungan dengan gaya hidup atau pola makan. Upaya awal terhadap tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya mempertahankan kondisi kesehatan yang positif yang dapat melindungi masyarakat dari gangguan kondisi kesehatan yang sudah baik.
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa usaha pencegahan primordial ini sering kali disadari pentingnya apabila sudah terlambat. Oleh karena itu, epidemiologi sangat penting dalam upaya pencegahan penyakit.
2.      Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit (Eko budiarto, 2001). Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) dilakukan dengan dua cara : (1) menjauhkan agen agar tidak dapat kontak atau memapar penjamu, dan (2) menurunkan kepekaan penjamu. Intervensi ini dilakukan sebelum perubahan patologis terjadi (fase prepatogenesis). Jika suatu penyakit lolos dari pencegahan primordial, maka giliran pencegahan tingkat pertama ini digalakan. Kalau lolos dari upaya maka penyakit itu akan segera dapat timbul yang secara epidemiologi tercipta sebagai suatu penyakit yang endemis atau yang lebih berbahaya kalau tumbuldalam bentuk KLB.
Pencegahan tingkat pertama merupakan suatu usaha pencegahan penyakit melalui usaha-usaha mengatasi atau mengontrol faktor-faktor risiko dengan sasaran utamanya orang sehat melalui usaha peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan) serta usaha pencegahan k            husus terhadap penyakit tertentu. Tujuan pencegahan tingkat pertama adalah mencegah agar penyakit tidak terjadi dengan mengendalikan agent dan faktor determinan. Pencegahan tingkat pertama ini didasarkan pada hubungan interaksi antara pejamu (host), penyebab (agent atau pemapar), lingkungan (environtment) dan proses kejadian penyakit.
Pejamu(host)                
perbaikan status gizi, status kesehatan dan pemberian imunisasi.
Penyebab (agent)            
menurunkan pengaruh serendah mungkin seperti dengan  penggunaan desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, penyemprotan insektisida yang dapat memutus rantai penularan.
Lingkungan (environment):
perbaikan lingkungan fisik yaitu dengan perbaikan air bersih, sanaitasi lingkungan dan perumahan.

Usaha pencegahan penyakit tingkat pertama secara garis besarnya dapat dibagi dalam usaha peningkatan derajat kesehatan dan usaha pencegahan khusus. Usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion) atau pencegahan umum yakni meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi peranan penyebab dan derajat risiko serta meningkatkan lingkungan yang sehat secara optimal. contohnya makan makanan bergizi seimbang, berperilaku sehat, meningkatkan kualitas lingkungan untuk mencegah terjadinya penyakit misalnya, menghilangkan tempat berkembang biaknya kuman penyakit, mengurangi dan mencegah polusi udara, menghilangkan tempat berkembang biaknya vektor penyakit misalnya genangan air yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes atau terhadap agent penyakit seperti misalnya dengan memberikan antibiotic untuk membunuh kuman.
Adapun usaha pencegahan khusus (specific protection) merupakan usaha yang ter-utama ditujukan kepada pejamu dan atau pada penyebab untuk meningkatkan daya tahan maupun untuk mengurangi risiko terhadap penyakit tertentu. Contohnya yaitu imunisasi atau proteksi bahan industry berbahaya dan bising, melakukan kegiatan kumur-kumur dengan larutan Flour untuk mencegah terjadinya karies pada gigi. Sedangkan terhadap kuman penyakit misalnya mencuci tangan dengan larutan antiseptic sebelum operasi untuk mencegah infeksi, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan untuk mencegah penyakit diare.  
Terdapat dua macam strategi pokok dalam usaha pencegahan primer, yakni : (1) strategi dengan sasaran populasi secara keseluruhan dan (2) strategi dengan sasaran hanya terbatas pada kelompok risiko tinggi. Strategi pertama memiliki sasaran lebih luas sehingga lebih bersifat radikal, memiliki potensi yang besar pada populasi dan sangat sesuai untuk sasaran perilaku. Sedangkan pada strategi kedua, sangat mudah diterapkan secara individual, motivasi subjek dan pelaksana cukup tinggi serta rasio antara manfaat dan tingkat risiko cukup baik.
Pencegahan pertama dilakukan pada masa sebelum sakit yang dapat berupa :
a)      Penyuluhan kesehatan yang intensif.
b)      Perbaikan gizi dan penyusunan pola menu gizi yang adekuat.
c)      Pembinaan dan pengawasan terhadap pertumbuhan balita khususnya anak-anak, dan remaja pada umumnya.
d)     Perbaikan perumahan sehat.
e)      Kesempatan memperoleh hiburan yang sehat untuk memungkinkan pengembangan kesehatan mental maupu sosial.
f)       Nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.
g)      Pengendalian terhadap faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi timbulnya suatu penyakit.
h)      Perlindungan terhadap bahaya dan kecelakaan kerja.
Pencegahan primer merupakan upaya terbaik karena dilakukan sebelum kita jatuh sakit dan ini adalah sesuai dengan “konsep sehat” yang kini dianut dalam kesehatan masyarakat modern.
3.      pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)
Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini untuk menemukan status patogeniknya serta pemberian pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama pencegahan tingkat kedua ini, antara lain untuk mencegah meluasnya penyakit menular dan untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut, mencegah komplikasi hingga pembatasan cacat. Usaha pencegahan penyakit tingkat kedua secara garis besarnya dapat dibagi dalam diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and promt treatment) serta pembatasan cacat.
Tujuan utama dari diagnosa dini ialah mencegah penyebaran penyakit bila penyakit ini merupakan penyakit menular, dan tujuan utama dari pengobatan segera adalah untuk mengobati dan menghentikan proses penyakit, menyembuhkan orang sakit dan mencegah terjadinya komplikasi dan cacat. Cacat yang terjadi diatasi terutama untuk mencegah penyakit menjadi berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya kecacatan yang lebih baik lagi.  
Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adalah menemukan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi : (1) pemeriksaan berkala pada kelompok populasi tertentu seperti pegawai negeri, buruh/ pekerja perusahaan tertentu, murid sekolah dan mahasiswa serta kelompok tentara, termasuk pemeriksaan kesehatan bagi calon mahasiswa, calon pegawai, calon tentara serta bagi mereka yang membutuhkan surat keterangan kesehatan untuk kepentingan tertentu ; (2) penyaringan (screening) yakni pencarian penderita secara dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak gejala pada penduduk secara umum atau pada kelompok risiko tinggi ; (3) surveilans epidemiologi yakni melakukan pencatatan dan pelaporan sacara teratur dan terus-menerus untuk mendapatkan keterangan tentang proses penyakit yang ada dalam masyarakat, termasuk keterangan tentang kelompok risiko tinggi.
Selain itu, pemberian pengobatan dini pada mereka yang dijumpai menderita atau pemberian kemoprofilaksis bagi mereka yang sedang dalam proses patogenesis termasuk mereka dari kelompok risiko tinggi penyakit menular tertentu.

4.      pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)
Pencegahan pada tingkat ketiga ini merupakan pencegahan dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti pengobatan dan perawatan khusus penderita kencing manis, tekanan darah tinggi, gangguan saraf dan lain-lain serta mencegah terjadinya cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitasi.
Rehabilitasi merupakan usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis (seperti pemasangan protese), rehabilitasi mental (psychorehabilitation) dan rehabilitasi sosial, sehingga setiap individu dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan berdaya guna.

Daftar Pustaka
Budiarto, Eko & Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi edisi 2. Jakarta : EGC.
C.Timmreck, Thomas. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar edisi 2. Jakarta : EGC.
Rajab, Wahyudin. 2009. Buku Ajar Epidemiologi untuk Kebidanan. Jakarta : EGC.       
Ryadi, slamet & T. Wijayanti. 2010. Dasar-Dasar Epidemiologi. Jakarta : Salemba Medika.
Soemirat, Juli. 1999. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Yogyakarta.


ETIOLOGI MASALAH PANGAN GIZI DAN BERKOLERASI
KESEHATAN DAN DISFUNGSI

A.    Jenis Permasalahan Pangan
Permasalahan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan beraktivitas dengan baik untuk sementara waktu dalam jangka panjang. Ada dua jenis permasalahan pangan, yaitu yang bersifat kronis dan bersifat sementara.
Permasalahan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan (untuk tingkat rumah tangga berarti kepemilikan pangan lebih sedikit daripada kebutuhan dan untuk tingkat individu konsumsi pangan lebih rendah dari pada kebutuhan biologis) yang terjadi sepanjang waktu.
Sedangkan permasalahan pangan kronis mencakup permasalahan pangan musiman. Permasalahan ini terjadi karena adanya keterbatasan ketersediaan pangan oleh rumah tangga, terutama masyarakat yang berada di pedesaan.
B.     Jenis-jenis Masalah Gizi Makro dan Mikro
Secara umum di Indonesia terdapat dua masalah gizi utama yaitu kurang gizi makro dan kurang gizi mikro. Kurang gizi makro pada dasarnya merupakan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan asupan energi dan protein. Masalaha gizi makro adalah masalah gizi yang utamanya disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan energi dan protein. Kekurangan zat gizi makro (kekurangan atau ketidak seimbangan asupan energi dan protein) umumnya disertai dengan kekurangan zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
Sumber daya manusia merupakan syarat mutlak menuju pembangunan disegala bidang. Status gizi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia terutama terkait dengan kecerdasan, produktivitas, dan kreativitas sumber daya manusia. Sementara itu, di Indonesia masih menghadapi empat masalah gizi utama yaitu kurang kalori protein dan obesitas (masalah gizi ganda), kurang Vitamin A, gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia zat besi.
Kurang kalori protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat energi dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). (Supriasa, 2001). Sedangkan obesitas adalah Keadaan patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan daripada yang diperlukan untuk fungsi tubuh.
Kurang Vitamin A disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A dari makanan, rendahnya kualitas makanan (vit A), penyakit Infeksi dan Parasit, serta rendahnya vitamin A dalam ASI (Bayi).
GAKY adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu lama.
Defisiensi Fe merupakan akibat dari rendahnya biovailabilitas intake Fe, peningkatan kebutuhan Fe selama periode kehamilan dan mnyusui, dan peningkatan kehilangan darah karena penyakit cacingan atau schistosomiasis. Anemia defisiensi Fe terjadi pada tahap anemia tingkat berat (severe) yang berakibat pada rendahnya kemampuan tubuh memelihara suhu, bahkan dapat mengancam kematian.

C.  Determinan Masalah Pangan

Permasalahan pangan terjadi jika suatu rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak-cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan seluruh individu anggota keluarganya.
Ada tiga hal penting yang mempengaruhi tingkat permasalahan pangan, yaitu :
a.    Kemampuan penyediaan pangan kepada individu/rumah;
b.    Kemampuan individu / rumah tangga untuk mendapatkan pangan;
c.    Proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu/rumah tangga.
Ketiga hal tersebut, pada kondisi terjadinya permasalahan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara stimultan dan bersifat relatif permanen. Sedangkan pada kasus permasalahan pangan musiman dan sementara, faktor yang berpengaruh hanya salah satu atau dua faktor yang tidak permanen.
Permasalahan pangan yang muncul tidak hanya persoalan produksi pangan semata, namun  juga merupakan masalah multidimensional,  yakni juga mencakup masalah pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, kebutuhan dan prasarana fisik.
Permasalahan pangan tidak hanya ditentukan oleh tiga pilar tersebut namun oleh sejumlah faktor berikut:
1.      Sumber Daya Lahan
Menurut staf khusus dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Herman Siregar), lahan sawah terancam semakin cepat berkurang, walaupun sebenarnya lahan yang secara potensial dapat digunakan, belum digunakan masih banyak.
Alasannya, pencetakan sawah baru menemui banyak kendala, termasuk biayanya yang mahal, sehingga tambahan lahan pertanian setiap tahun tidak signifikan dibandingkan dengan luas areal yang terkonversi untuk keperluan non-pertanian. Ironisnya, laju konversi lahan pertanian tidak bisa dikurangi, bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun, sejalan dengan pesatnya urbanisasi (yang didorong oleh peningkatan pendapatan per kapita dan imigrasi dari perdesaan ke perkotaan), dan industrialisasi.
2.       Infrastruktur
Menurut  analisis Khomsan (2008), lambannya pembangunan infrastruktur  ikut berperan menentukan pangsa sektor pertanian dalam mendukung ketahanan pangan.  Pembangunan infrastruktur pertanian sangat penting dalam mendukung produksi pangan yang mantap. Perbaikan infrastruktur  pertanian seyogyanya terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala penyaluran produk pertanian dan tidak mengganggu arus pendapatan ke petani.
Sistem dan jaringan Irigasi (termasuk  bendungan dan waduk) merupakan bagian penting dari infrastruktur pertanian. Ketersediaan jaringan irigasi yang baik, diharapkan dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman pangan.
3.       Teknologi dan Sumber Daya Manusia
Teknologi dan SDM merupakan dua faktor produksi yang sifatnya komplementer, dan ini berlaku di semua sektor, termasuk pertanian. Kualitas SDM di sektor pertanian sangat rendah jika dibandingkan di sektor-sektor ekonomi lainnya seperti industri manufaktur, keuangan, dan jasa. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, lebih dari 50% dari jumlah petani adalah dari kategori berpendidikan rendah, kebanyakan hanya sekolah dasar (SD). Rendahnya pendidikan formal ini tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani Indonesia mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk menggunakan traktor dan mesin pertanian lainnya secara efisien.
4.      Energi
Energi sangat penting untuk kegiatan pertanian lewat dua jalur, yakni langsung dan tidak langsung. Jalur langsung adalah energi seperti listrik atau bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan oleh petani dalam kegiatan bertaninya, misalnya dalam menggunakan traktor. Sedangkan lewat jalur tidak langsung adalah energi yang digunakan oleh pabrik pupuk dan pabrik yang membuat input-input lainnya dan alat-alat transportasi dan komunikasi
5.      Modal
Keterbatasan modal menjadi salah satu penyebab rapuhnya ketahanan pangan di Indonesia. Diantara sektor-sektor ekonomi, pertanian yang selalu paling sedikit mendapat kredit dari perbankan (dan juga dana investasi) di Indonesia. Kekurangan modal juga menjadi penyebab banyak petani tidak mempunyai mesin giling sendiri. Padahal jika petani mempunyai mesin sendiri, artinya rantai distribusi bertambah pendek sehingga kesempatan lebih besar bagi petani untuk mendapatkan lebih banyak penghasilan. Berdasarkan SP 2003, tercatat hanya sekitar 3,06% dari jumlah petani yang pernah mendapatkan kredit bank, sedangkan sisanya membiayai kegiatan bertani dengan menggunakan uang sendiri.
6.       Lingkungan Fisik/Iklim
Dampak pemanasan global diduga juga berperan dalam menyebabkan krisis pangan dunia, termasuk di Indonesia, karena pemanasan global menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau yang semakin tidak menentu.
Pola tanam dan estimasi produksi pertanian serta persediaan stok pangan menjadi sulit diprediksi dengan akurat. Pertanian pertanian pangan, merupakan sektor yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya yang mengakibatkan musim kering berkepanjangan; hal ini karena pertanian pangan di Indonesia masih sangat mengandalkan pada pertanian sawah yang memerlukan banyak air.
Dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia adalah penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim, dapat mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam.
C.      Determinan Masalah Gizi
 Terdapat 6 faktor yang mempengaruhi masalah gizi, yaitu:
1.       Faktor manusia
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tubuh manusia, yaitu Usia, Jenis kelamin, Ras, Sosial ekonomi, Penyakit-penyakit terdahulu, Cara Hidup, Hereditas, Nutrisi, Imunitas.
2.      Faktor sumber/ Agent
Kondisi pejamu yang mengalami kekurangan ataupun kelebihan nutrisi dapat mengganggu keseimbangan tubuh sehingga menyebabkan munculnya penyakit.
3.      Faktor lingkungan/environment (fisik, biologis, ekonomi, bencana alam)
Terdiri dari Lingkungan biologis, Fisik, Sosial, Ekonomi. Mempunyai pengaruh & peranan yang penting dalam interaksi antara manusia. Hubungan dengan permasalahan gizi, yaitu: Daerah dimana buah-buahan & sayur mayur tidak selalu tersedia, Tumbuh-tumbuhan yang mengandung zat gizi sebagai tempat bermukim vector, Penduduk yang padat, Perang,menyebabkan kemiskinan dan perpindahan penduduk, dan Bencana alam.
4. Ketersediaan bahan makanan yang kurang dipasaran: Krisis Ekonomi yang berkepanjangan dan Kegagalan produksi pertanian, Ketersediaan bahan makanan yang kurang ditingkat rumah tangga/individu: Keadaan sosial ekonomi kurang memadai, Daya beli yang kurang/menurun, Tingkat pengetahuan yang kurang, dan Kebiasaan/budaya yang merugikan
5.    Penyakit Infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada sendiri-sendiri



DAFTAR PUSTAKA

Soemarno, Prof.Dr. Ir. MS. 2012. “Ketahanan Pangan Food Security”. http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/04/KOMPENDIUM-KETAHANAN-PANGAN.ppt. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2012.

Rusman, Efendi. _________. “Zat Gizi Makro dan Mikro”. http://www.rusmanefendi.files.wordpress.com/2010/02/2-zat-gizi-makro-dan-mikro.pptx. Diakses pada tanggal 09 Oktober 2012.

Reynald Geotena Lamabelawa, Yusuf. 2006. “Anaslisi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dalam Mengatasi Masalah Gizi Buruk di Kabupaten Lembata”. http://www.eprints.undip.ac.id/15975/1/Yusuf_Reynald_GL.pdf. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2012.

Maas, Linda T. 2003. “Masalah Gizi dalam Kaitannya dengan Ketahanan Fisik dan Produktifitas Kerja”. http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3774/1/fkm-linda.pdf. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2012.

Dewan Ketahanan Pangan (DKP). 2009. “Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015”. http://www.bkp.bangka.go.id/donlot/tahan-pangan-dan-gizi-2015_datastudi.pdf. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2012.
Anonim. ________. “Hubungan Kebiasaan Pemberian Makanan Tambahan dengan Peningkatan Berat Badan Pada Balita Kurang Kalori Protein di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan”. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1keperawatan/0910712012(SUDAH%20DI%20KUNCI)/BAB%20I.pdf. Diakses pada tanggal 09 Oktober 2012.

Aningsih, Fitria. 2012. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masalah Gizi Masyarakat”. http://www.fitria1705.files.wordpress.com/2012/06/7-faktor-yg-mempengaruhi-masalah-gizi-masyarakat.ppt. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2012.
Diposkan olehWinda Mulia Ningsih 06.37











MENGANALISIS DAN MENINGKATKAN SYSTEM  PERAWATAN
 KESEHATAN DAN  MENYEMBUHKAN  POLITIK

A.    PENGERTIAN ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN
Analisis Kebijakan Kesehatan, terdiri dari 3 kata yang mengandung arti atau dimensi yang luas, yaitu analisa atau analisis, kebijakan, dan kesehatan. Analisa atau analisis, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik[8]. Kebijakan  adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: kebijakan kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya (Balai Pustaka, 1991).
Kebijakan berbeda makna dengan Kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1991), kebijaksanaan adalah kepandaian seseorang menggunakan akal budinya (berdasar pengalaman dan pangetahuannya); atau kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan.[11] Kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan gawat dll. Kebijaksanaan selalu mengandung makna melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan tertentu.
Menurut UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara soial dan ekonomi (RI, 1992).[9]  Pengertian ini cenderung tidak berbeda dengan yang dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu kaadaan yang sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya terbebasnya dari penyakit atau kecacatan.[13] Menurut UU No. 36, tahun 2009 Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.  Jadi, analisis kebijakan kesehatan adalah pengunaan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam  rangka memecahkan masalah kebijakan kesehatan.
B.      PERAN ANALISIS KEBIJAKAN
Analisis kebijakan kesehatan awalnya adalah hasil pengembangan dari analisis kebijakan publik. Akibat dari semakin majunya ilmu pengetahuan dan kebutuhan akan analisis kebijakan dalam bidang kesehatan itulah akhirnya bidang kajian analisis kebijakan kesehatan muncul.
Sebagai suatu bidang kajian ilmu yang baru, analisis kebijakan kesehatan memiliki peran dan fungsi dalam pelaksanaannya. Peran dan fungsi itu adalah:
1.      Adanya analisis kebijakan kesehatan akan memberikan keputusan yang fokus pada  masalah yang akan diselesaikan.
2.      Analisis kebijakan kesehatan mampu menganalisis multi disiplin ilmu. Satu disiplin kebijakan dan kedua disiplin ilmu kesehatan. Pada peran ini analisis kebijakan kesehatan menggabungkan keduanya yang kemudian menjadi sub kajian baru dalam khazanah keilmuan.
3.      Adanya analisis kebijakan kesehatan, pemerintah mampu memberikan jenis tindakan kebijakan apakah yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah.
4.      Memberikan kepastian dengan memberikan kebijakan/keputusan yang sesuai atas suatu masalah yang awalnya tidak pasti.
5.      Dan analisis kebijakan kesehatan juga menelaah fakta-fakta yang muncul kemudian akibat dari produk kebijakan yang telah diputuskan/diundangkan. [1] [2]

C.     PERANAN POLITIK

Analisis kebijakan merupakan proses kognitif. Pembuatan kebijakan merupakan proses Politik. Dengan demikian Informasi yang dihasilkan belum tentu digunakan oleh pengambilan kebijakan.
Seorang analis harus aktif sebagai agen perubahan, paham struktur politik, berhubungan dengan orang yang mempengaruhi kebijakan yang dibuat, membuat usulan yang secara politis dapat diterima pengambil kebijakan, kelompok sasaran, merencanakan usulan yang mengarah kepada pelaksanaan.Analis hanya satu dari banyak pelaku kebijakan, dengan pelaku kebijakan merupakan salah satu elemen sistem kebijakan. Dunn (1988) menjelaskan adanya 3 elemen dalam sistem kebijakan, yang satu sama lain mempunyai hubungan.
Dapat dijelaskan bahwa 3 elemen sistem kebijakan saling berhubungan:
1.      Kebijakan publik, merupakan serangkaian pilihan yang dibuat atau tidak dibuat oleh badan atau kantor pemerintah, dipengaruhi atau mempengaruhi lingkungan kebijakan dan kebijakan publik.
2.      Pelaku kebijakan, adalah kelompok masyarakat, organisasi profensi, partai politik, berbagai badan pemerintah, wakil rakyat, dan analis kebijakan yang dipengaruhi atau mempengaruhi pelaku kebijakan dan kebijakan publik.
3.      Lingkungan kebijakan, yakni suasana tertentu tempat kejadian di sekitar isu kebijakan itu timbul, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pelaku kebijakan dan kebijakan publik.
Berdasarkan uraian di atas, maka seorang analis kebijakan dapat dikategorikan sebagai aktor kebijakan yang menciptakan dan sekaligus menghasilkan sistem kebijakan, disamping aktor kebijakan yang lainnya. [5][6]

D.    SISTEM KESEHATAN

Sebelum melakukan analisis kebijakan kesehatan perlu dipahami terlebih dahulu mengenai sistem kesehatan. Bagaimana pengambilan kebijakan dibidang kesehatan.

E.     KEBIJAKAN KESEHATAN DI INDONESIA
1.      Isu strategis
a.       Pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu belum optimal
b.      Sistem perencanaan dan penganggaran departemen kesehatan belum optimal
c.       Standar dan pedoman pelaksanaan pembangunan kesehatan masih kurang memadai
d.      Dukungan departemen kesehatan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan masih terbatas.
2.      Strategi kesehatan di Indonesia
a.       Mewyjudkan komitmen pembangunan kesehatan
b.      Meningkatkan pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan
c.       Membina sistem kesehatan dan sistem hukum di bidang kesehatan
d.      Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan
e.       Melaksanakan jejaring pembangunan kesehatan
3.       Kebijakan program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
a.       Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
b.      Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat dan generasi muda
c.       Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
4.      Kebijakan program lingkungan sehat
a.       Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar
b.      Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan
c.       Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan
d.      Pengembangan wilayah sehat
5.       Kebijakan program upaya kesehatan dan pelayanan kesehatan
a.       Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya
b.      Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya
c.       Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial
d.      Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana
e.       Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
6.       Kebijakan program upaya kesehatan perorangan
a.       Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin kelas III RS
b.      Pembangunan sarana dan parasarana RS di daerah tertinggal secara selektif
c.       Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit
d.      Pengadaan obat dan perbekalan RSPeningkatan pelayanan kesehatan rujukan
e.        Pengembangan pelayanan kedokteran keluarga
f.       Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan
7.      Kebijakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit
a.       Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
b.      Peningkatan imunisasi
c.       Penemuan dan tatalaksana penderita
d.      Peningkatan surveilans epidemologi
e.       Peningkatan KIE pencegahan dan pemberantasan penyakit
8.      Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat
a.       Peningkatan pendidikan gizi
b.      Penangulangan KEP, anemia gizi besi, GAKI, kurang vitamin A, kekuarangan zat gizi mikro lainnya
c.       Penanggulangan gizi lebih
d.      Peningkatan surveilans gizi
e.       Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi
9.      Kebijakan program sumber daya kesehatan
a.       Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
b.      Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan kesehatan terutama untuk penduduk miskin
c.       Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit
10.  Kebijakan program kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
a.       Pengkajian dan penyusunan kebijakan
b.      Pengembangan sistem perencanaan dan pengangaran, pelaksanaan dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan administrasi keuangan, serta hukum kesehatan
c.       Pengembangan sistem informasi  kesehatan
d.      Pengembangan sistem kesehatan daerah
e.       Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan
11.   Kebijakan program penelitian dan pengembagan kesehatan
a.       Penelitian dan pengembangan
b.      Pengembangan tenaga, sarana dan prasarana penelitian
c.       Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan[4][7]



DAFTAR PUSTAKA
[1]AnneAhira.com. Konsep dan Implementasi Analisis Kebijakan Kesehatan (online) http://www.AnneAhira.com/artikel/analisis-kebijakan-kesehatan.html. Minggu, 13 Maret 2011 pkl 18.52
[3]Ayun Sriatmi. Sejarah analisis kebijakan dan kerangka analisis kebijakan (online) http://eprints.undip.ac.id/6256/1/Kerangka_analisis_kebijakan_-_ayun_sriatmi.pdf Senin, 14 maret 2011 pukul 14.01
[4] Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
[5] Dunn WN. 1988. Analisa Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta : PT. Hanindita
[6] Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
[7]Juanita. Kesehatan dan Pembangunan Nasional (online) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3737/1/fkm-juanita2.pdf Jumat, 4 Maret 2011 pkl 18.59
[8] Pasolong Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta
[9] Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan. Penerbit Sinar Grafika 1992
[10] Siagian SP. 1985. Analisis Serta Perumusan Kebijaksanaan Dan Strategi Organisasi. Jakarta : PT. Gunung Agung
[11]Surya Utama. Dasar-Dasar Analisis Kebijakan Kesehatan (online) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3765/1/fkm-surya4.pdf. Jumat, 11 Maret 2011 pkl 15.31
[12] Tim Redaksi Pustaka Yustisia. 2010. Undang-Undang Kesehatan dan Rumah Sakit 2009. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Yustisia
[13] Tulchinsky Ted., Varavikova Elena. The New Public Health (text book)
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar